Sejarah gua Selarong
Goa Selarong berada di Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Kembangputihan, Pajangan, Bantul, Jogja. Atau tepatnya berada di sebelah barat daya pusat kota Yogyakarta. Tempat ini menjadi saksi bisu sejarah perlawanan seorang anak bangsa melawan kediktatoran Pemerintahan Hindia Belanda. Dialah Pangeran Dipanegara tokoh kunci perang Jawa atau Java Orloog, yang berlangsung selama lima tahun sejak 1825 hingga 1830. Ontowiryo nama kecil sang Pangeran dengan gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jowo. Pangeran Diponegoro lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia adalah putra pertama dari Hamengkubuwana III, yang pada saat itu menjabat sebagai raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Sedangkan, ibunya bernama R.A. Mangkarawati, seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan.
Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong berawal ketika, Pada tanggal 21 Juli 1825, pasukan Belanda pimpinan asisten Residen Chevallier mengepung rumah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Akan tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri dan menuju ke Selarong. Di tempat tersebut secara diam-diam telah dipersiapkan untuk dijadikan markas besar. Selarong sendiri merupakan desa strategis yang terletak di kaki bukit kapur, berjarak sekitar enam pal (sekitar 9 km) dari kota Yogyakarta. Setelah Peristiwa di Tegalrejo sampai ke Kraton, banyak kaum bangsawan yang meninggalkan istana dan bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah anak cucu dari Sultan Hamengkubuwono I, II, dan III yang berjumlah tidak kurang dari 77 orang dan ditambah pengikutnya. Diantaranya adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo, dan Pangeran Surenglogo.
Pangeran Diponegoro juga memerintahkan Joyomenggolo, Bahuyudo, dan Honggowikromo untuk memobilisasi penduduk desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Di tempat ini juga disusun strategi dan langkah-langkah untuk memastikan sasaran yang akan diserang. Pada tanggal 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi menulis surat kepada masyarakat Kedu agar bersiap melakukan perang. Dalam surat itu dia mengatakan bahwa sudah saatnya Kedu kembali ke wilayah Kasultanan Yogyakarta setelah dirampas oleh Belanda.
Di Selarong ini juga dibentuk beberapa batalyon yang dipimpin oleh Ing Ngabei Joyokusumo, Pangeran Prabu Wiromenggolo, dan Sentot Prawirodirjo. Sepanjang bulan Juli 1825 hampir seluruh pinggiran kota diduduki oleh pasukan Diponegoro. Markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong dipimpin oleh lima serangkai yang terdiri dari Pangeran Diponegoro sebagai ketua markas, Pangeran Mangkubumi merupakan anggota tertua sebagai penasihat dan pengurus rumah tangga, Pangeran Angabei Jayakusuma sebagai panglima pengatur siasat dan penasihat di medan perang Alibasah Sentot Prawirodirjo yang sejak kecil dididik di Istana dan setelah perang Diponegoro bergabung dengan Pangeran Diponegoro dan Kyai Maja sebagai penasihat rohani pasukan Pangeran Diponegoro.
Berbagai upaya dilakukan oleh Gubernur Jenderal De Kock antara lain menulis surat kepada Pangeran Diponegoro yang isinya mengajak Pangeran Diponegoro untuk berdamai. Tetapi ajakan berunding tersebut ditolak secara tegas oleh Pangeran Diponegoro. Dengan penolakan tersebut maka Jenderal De Kock memerintahkan untuk menyerbu Selarong. Akan tetapi ketika pasukan Belanda tiba di Selarong, desa itu sepi karena pasukan Pangeran Diponegoro sudah berpencar di berbagai arah. Menurut babad Dipanagara, selanjutnya sang pangeran mendirikan markas di Dekso Kulonprogo,yang berlangsung kurang lebih 10 bulan dari tanggal 4 November 1825 sampai dengan 4 Agustus 1826.
Selama bermarkas di Selarong pasukan Belanda telah melakukan penyerangan sebanyak tiga kali Serangan pertama pada tanggal 25 Juli 1825 yang dipimpin oleh Kapten Bouwes. Serangan ini merupakan aksi perlawanan Pangeran Diponegoro di Logorok dekat Pisangan Yogyakarta, yang mengakibatkan 215 pasukan Belanda menyerah. Serangan kedua pada bulan September 1825 di bawah pimpinan Mayor Sellwinj dan Letnan Kolonel Achenbac dan serangan ketiga tanggal 4 November 1825. Setiap pasukan Belanda menyerang Selarong maka Pasukan Pangeran Diponegoro menghilang di goa-goa sekitar Selarong.
Goa Putri, salah satu goa di lokasi goa Selarong
Dalam perjuangannya melawan pasukan kolonial Hindia-Belanda, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan penuh dari rakyat, kalangan ulama, serta kaum bangsawan. Adapun ulama-ulama yang mendukung dan turut berjuang dengannya antara lain Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin, dan Alibasaha Sentot Prawirodirjo. Selain Pangeran Diponegoro, tokoh yang selalu membangkitkan semangat dan keberanian para pejuang adalah Kiai Mojo. Ia selalu menegaskan, perang Diponegoro atau perang Jawa adalah jihad yang harus dilakukan semua umat Islam. Tujuannya tak lain untuk melawan penderitaan serta kesengsaraan yang diakibatkan kesewenang-wenangan dan kelaliman pemerintahan Hindia-Belanda.
Pada awal peperangan, pasukan Pangeran Diponegoro meraih cukup banyak kemenangan. Ia berhasil melumpuhkan basis kekuatan pasukan kolonial di Pacitan dan Purwodadi, kemudian menguasainya. Peperangan melawan pasukan kolonial pun menjalar ke daerah-daerah lainnya mencakup Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, dan lain-lain. Namun, pasukan Pangeran Diponegoro selalu memenangkan strategi peperangan denga cara gerilya..
Adalah Jenderal De Kock yang berhasil melumpuhkan perjuangan Pangeran Diponegoro. Setelah para pejuang dan pengikutnya berhasil ditangkap dan diasingkan oleh De Kock, Pangeran Diponegoro akhirnya menerima tawaran perundingan yang ditawarkan pemerintah kolonial pada Maret 1830. Namun, perundingan hanyalah siasat untuk menjebak dan menangkapnya. Pangeran Diponegoro pun ditangkap, kemudian dikirim ke Batavia. Pada April 1830, ia bersama istri dan beberapa pengikutnya akhirnya diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Ia pun sempat ditawan ke benteng Amsterdam, lalu dipindahkan kembali ke benteng Rotterdam di Makasar, Sulawesi Selatan. Pada Januari 1855, Pangeran Diponegoro pun wafat dalam pembuangan.
Kendati berhasil dilenyapkan, pemerintah Hindia-Belanda menelan kerugian telak akibat peperangan melawan Pangeran Diponegoro. Diperkirakan pemerintah Hindia-Belanda harus menggelontorkan sekitar 20 ribu gulden untuk membiayai perang ini. Selain itu, dalam segi pasukan, Hindia-Belanda juga harus kehilangan sekitar delapan ribu pasukannya. Pasukan pribumi yang wafat pada perang ini pun tak sedikit, yakni sekitar tujuh ribu orang.
Fakta dan data diatas membuktikan bahwa perang Diponegoro atau perang Jawa 1825-1830, menjadi peperangan paling besar dan sengit dalam sejarah Perjuangan bangsa. Dan berkat kegigihan dan jasanya dalam melawan pemerintahan kolonial, Pangeran Diponegoro didaulat sebagai salah satu pahlawan nasional. Perang Jawa telah membuktikan bahwa eksistensi sang pangeran menjadi legenda dan inspirasi perlawanan perlawanan daerah lainnya di Nusantara dan semua itu berawal dari Selarong.
Perpustakaan Amarta
SMA NEGERI 1 BANTUL
Tinggalkan Balasan